Ternyata setelah “hijrah” kita nggak boleh berhenti
sampai disitu aja loh. Masih banyak tahapan yang harus kita lalui.
Yang pertama adalah HIJRAH. Apa sih hijrah
itu? Gampangnya, hijrah itu adalah masa transformasi dari kegelapan menuju
cahaya Islam.
Paham maksudnya ‘kan?
Jadi, hijrah itu adalah saat dimana kita mulai sadar
akan apa saja keburukan yang ada dalam diri kita. Di tahap ini kita tidak hanya
harus menunggu kemantapan hati saja. Tetapi, kita juga harus lebih rajin berdoa
untuk mengharap hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Memang kedengarannya susah.
Apalagi di zaman sekarang sudah banyak hal-hal yang terlihat sederhana namun
sangat fatal akibatnya. Soal jilbab misalnya. Banyak sekali yang membuat
kutipan ini itu, mengingatkan berkali-kali, namun selalu saja semua hanya
sebatas angin berlalu. Kebanyakan sekarang, “Ah, dari pada baca-baca soal
ginian mending baca trend masa kini.”
Tabbaruj juga sepertinya sudah menjadi hal yang
lumrah. Aurat terlihat dimana-mana sudah jadi hal biasa. Itu bahkan tidak
memandang pria atau wanita. Pasti ada saja. Seakan hukum Allah itu tidak ada.
Kalau ditanya yang salah dimananya? Ya, yang pasti KESADARAN DIRINYA masih
rendah.
Meski masih banyak kekurangan, tetapi jika mengingat
pepatah “tidak ada yang terlambat” pasti semua tidak akan menjadi sia-sia. Yang
terpenting adalah niat kita. Jika kita sudah berkomitmen untuk berhijrah,
sekeras apapun halangannya pasti ia akan tetap berserah diri kepada Allah,
tidak patah dalam satu sentakan.
Selanjutnya adalah HAMASAH. Apa itu? Hamasah
adalah masa semangat memperbaiki diri, namun masih sering futur (malas
beribadah atau istilah kerennya down). Ini biasa terjadi dan menurut
saya sangat manusiawi. Bukan rahasia lagi jika rasa malas adalah musuh terbesar
dalam diri kita. Dan yang harus melawannya pun adalah diri kita sendiri. Meski di awal niat kita sudah kuat, namun tak
jarang ada saja yang membuat hati kita kembali galau.
Kalau sudah begini kita harus bagaimana dong?
Kalau sudah rasa futur yang datang, lebih baik kita
lebih mempertebal iman dan takwa kita kepada Allah, salah satunya adalah dengan
memperkuat ibadah kita kepada-Nya. Atau bisa juga kita mengingat azab Allah
yang pedih atau bahkan nikmat Allah yang tiada tara untuk membuat kita semangat
beribadah. Saya pernah mendengar, “...jadikanlah kematian di pelupuk matamu”.
Maksudnya adalah bisa juga memperkuat ibadah kita dengan senantiasa mengingat
kematian. Simple-nya lagi, “Kapan lagi bisa ibadah kalau kematian sudah
melewati kita?” Memaksakan diri untuk kebaikan nggak harus salah dong J
Motivasinya juga harus satu dong, yaitu semata-mata
untuk mencari ridho Allah.
Ini mungkin merupakan tahapan yang paling sulit di
antara yang lainnya. Yaitu ISTIQOMAH. Apa sih istiqomah itu? Istiqomah adalah
kondisi iman relatif stabil karena sudah punya amalan andalan untuk menjaga
hati agar terus bertaqwa.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas tadi bahwa
untuk melawan futur itu sendiri kita harus memiliki amalan andalan agar kita
tetap stay dalam proses hijrah kita. Salah satu contohnya adalah dengan
shalat. Shalat tidak hanya sebatas kewajiban kita melaksanakan perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala, tetapi juga sebagai wujud rasa cinta kita kepada-Nya.
Setiap kita merasa malas, alangkah lebih baik kita mengingat
kematian. Jika kita benar-benar meresapi apa itu kematian pasti perlahan-lahan
semangat ibadah kita akan terpupuk dengan sendirinya.
Bukankah shalat itu ibaratkan kita mandi sehari-hari?
Bukankah dengan mandi, badan kita akan menjadi bersih? Begitu juga dengan
shalat.
Tidak hanya ibadah shalat sebenarnya, masih banyak
ibadah-ibadah lainnya yang bisa kita lakukan untuk menjadi tameng istiqomah
kita, seperti puasa, membaca Al-Quran, bersedekah, dan lain-lain.
Dan puncak dari perjalanan hijrah kita adalah ketika
kita sampai pada tahap QUDWAH. Qudwah sendiri artinya mereka yang sudah
istiqomah dan mampu memberikan manfaat kepada umat sehingga mereka menjadi
contoh dalam kebaikan. Mungkin untuk sampai di titik ini tidaklah membutuhkan
waktu yang sebentar. Namun, segala sesuatunya perlu diusahakan. Bukankah
sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa bermanfaat bagi sesamanya? Dan bukankah
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum jika mereka tidak berusaha
mengubahnya?
Percaya atau tidak, setiap kali kita bisa menjadi
teladan atau sekedar bisa berbagi dengan sesama akan menjadikan hati seseorang
tenteram dan damai. Allah Maha Pemurah, maka sekecil apapun kita mengeluarkan
sesuatu di jalan Allah, maka Allah senantiasa akan menggantinya dengan yang
lebih.
Yang paling dekat dengan sosok teladan adalah
memberi. Memberi tidak hanya dengan materi saja. Apapun itu bisa, selama konteksnya
baik dan diniatkan karena Allah Ta’ala. Semoga kita selalu bisa dekat dengan illahi
rabbi.
SUMBER : MUSLIMAH
No comments:
Post a Comment